Tanggal 16 April diperingati sebagai Hari Gajah Sedunia atau Hari Peduli Gajah Sedunia. Pasti kalian tau Gajah kan? Hehe. Gajah adalah makhluk hidup yang sangat indah. Ukuran mereka yang begitu besar, memastikan bahwa mereka tetap relatif aman di alam liar, meskipun tidak berada di atas rantai makanan. Di sisi lain, mereka juga makhluk yang sangat lembut yang tinggal dalam kawanan dan sangat peduli dengan kawanan mereka sendiri.
Namun keadaanya saat ini mulai terancam lohh. Salah satu jenis Gajah yang terancam ialah Gajah Sumatera. Menurut laporan Tahun 2018 , di Indonesia masih ada sekitar 1.700 ekor Gajah Sumatera. Selain karena terkikisnya habitatnya, jumlah gajah juga tertekan karena kurangnya dokter hewan yang mampu merawat gajah yang sakit.
Dalam enam tahun terakhir, Indonesia kehilangan 150 ekor Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang membuat satwa ini sebagai satu-satunya sub spesies Gajah Asia yang terancam punah. Angka kematian 150 ekor gajah adalah jumlah yang tercatat, diperkirakan angka sebenarnya di lapangan jauh lebih tinggi.
Sekretaris Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), Donny Gunaryadi dalam workshop konservasi gajah di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,akhir pekan lalu memperkirakan, dalam sepuluh tahun terakhir setidaknya ada 700 ekor Gajah Sumatera yang mati. Gajah-gajah tersebut diburu, diracun dan diambil gadingnya.
Data FKGI menyebutkan, tahun 1985 Indonesia masih memiliki 44 kantong habitat gajah di Sumatera. Tahun 2007, jumlahnya turun menjadi 25 kantong habitat, dengan hanya 12 kantong saja yang populasi gajahnya di atas 50 ekor. Lokasinya tersebar mulai dari Taman Nasional Leuser dan Ulu Masen di Aceh, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dan Tesso Nilo di Jambi, Padang Sugihan di Sumatera Selatan dan Way Kambas serta Bukit Barisan di Lampung. Kasian ya gajah-gajah itu habitatnya makin berukurang aja.
baca juga : Paus Keselek Sampah
Selain soal habitat dan perburuan manusia, gajah juga menghadapi persoalan penyakit mematikan. Serem banget deh bisa terkena penyakit mematikan gitu. Namun, menurut Dr Wisnu Nurcahyo dari Fakultas Kedokteran Hewan UGM, riset mengenai gajah di perguruan tinggi sangat minim. Mahasiswa kedokteran hewan tidak tertarik menjadi dokter bagi satwa langka. Pilihannya, mayoritas selalu pada jenis hewan peliharaan seperti anjing, burung, atau kucing dan sektor industri seperti ayam, kambing dan sapi.
Saat ini, Fakultas Kedokteran Hewan UGM bekerja sama dengan sejumlah pihak, juga sedang menyusun buku panduan mengenai gajah. Bagi pawang gajah (mahout) disusun buku panduan pengendalian untuk mendukung upaya pengembang-biakan. Sedangkan bagi dokter hewan, disusun buku panduan penanganan kesehatan gajah. Penyusunan buku ini didukung pendanaannya oleh Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dalam progam Tropical Forest Conservation Act (TFCA).
Buku panduan ini penting, karena dapat menjadi rujukan dalam menangani Gajah Sumatera. Ketua Umum Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Dr Heru Setijanto, menitikberatkan pentingnya peningkatan kapasitas dokter hewan dan pawang. Buku panduan tersebut itu secara tidak langsung akan mendukung upaya konservasi dan peningkatan populasi gajah.
Kurangnya tenaga dokter hewan khusus bagi satwa langka dan dilindungi, seperti gajah, orangutan, badak maupun harimau, juga dikeluhkan drh Muhammad Wahyu. Dia adalah Direktur Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation (Vesswic) di Medan, Sumatera Utara.
Wahyu mengatakan konflik antara satwa liar dan manusia mayoritas menempatkan satwa sebagai korban. Gajah misalnya, mengalami luka akibat kekerasan maupun jeratan, dan sangat membutuhkan peran dokter hewan. Peran dokter juga diperlukan lebih jauh, misalnya dalam penyelidikan forensik untuk memahami penyebab kematian satwa itu. Namun, tidak cukup tersedia tenaga medis karena hanya pemerintah dan LSM yang memilikinya, itupun dalam jumlah yang sangat terbatas.
Gajah juga diserang sejumlah penyakit. Salah satunya adalah herpes (Elephant endotheliotropic heroesvirus) yang menyerang gajah berusia kurang dari 10 tahun. Penyakit kedua adalah tuberkolosis (TBC) yang menyerang banyak gajah di pusat penangkaran. Belum ada riset untuk mencoba menemukan obat bagi penyakit-penyakit itu, termasuk cara penanganannya.
Baca juga : Penyu Tindik
Oleh karena itu, Indonesia perlu mengambil langkah tegas dalam perburuan gading yang mendorong pembunuhan gajah. Setidaknya ada dua pola yang selama ini terjadi, yaitu perburuan disengaja dan konflik gajah dengan manusia yang memunculkan bisnis gading tapi bukan gading marten ya hehe. Pola pertama adalah upaya perburuan oleh pemburu profesional yang sengaja dilakukan untuk mengambil gading. Pola kedua, adalah matinya gajah karena konflik dengan manusia, dan terjadi pengambilan gading oleh masyarakat. Kedua pola ini harus diberantas.
Ditulis oleh
M. Rasyid Hilmy
Comments